Menimba Ilmu Pendidikan Berbasis Keahlian dari Singapura dan Malaysia

Oleh: Dr. H. Rusdan, S.Pd., S.H., M.M.Pd. 

Di tengah arus globalisasi yang menuntut daya saing tinggi, pendidikan berbasis keahlian menjadi suatu keniscayaan. Negara-negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia, telah membuktikan diri sebagai pelopor dalam mengembangkan sistem pendidikan yang berfokus pada keahlian. Dari pengalaman mereka, kita dapat menggali inspirasi dan pelajaran berharga untuk memajukan pendidikan di Indonesia.

   Singapura, dengan visi futuristiknya, telah lama menempatkan pendidikan sebagai pilar utama pembangunan bangsa. Mereka memahami bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) adalah kunci untuk menghasilkan sumber daya manusia yang kompetitif di era digital. Oleh karena itu, mereka menginvestasikan sumber daya yang besar dalam pendidikan STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika) sejak usia dini.

   Salah satu ciri khas sistem pendidikan Singapura adalah kemitraan yang erat dengan industri. Mereka menyadari bahwa kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja adalah esensial. Siswa tidak hanya belajar teori di kelas, tetapi juga mendapatkan pengalaman praktis melalui magang dan proyek kolaboratif dengan perusahaan-perusahaan terkemuka.

   Selain itu, Singapura memanfaatkan teknologi secara optimal dalam proses pembelajaran. Platform daring, aplikasi edukasi, dan perangkat lunak inovatif digunakan untuk menciptakan pengalaman belajar yang interaktif dan menarik. Mereka juga mendorong budaya belajar sepanjang hayat, memastikan bahwa para pekerja terus mengembangkan keterampilan mereka seiring dengan perkembangan teknologi.

   Sementara itu, Malaysia juga memiliki sistem pendidikan vokasi yang solid dan beragam. Mereka memiliki berbagai lembaga pendidikan vokasi yang menawarkan program-program pelatihan di berbagai bidang keahlian, mulai dari teknik hingga pariwisata dan kuliner. Sistem pendidikan vokasi mereka terintegrasi dengan baik, mulai dari tingkat sekolah menengah hingga perguruan tinggi, sehingga siswa memiliki jalur yang jelas untuk mengembangkan keahlian mereka.

   Malaysia juga menekankan pada sertifikasi keahlian yang diakui secara nasional dan internasional, sehingga para lulusan pendidikan vokasi memiliki kompetensi yang sesuai dengan standar industri. Selain itu, mereka mendorong siswa untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan, memberikan pelatihan dan dukungan bagi mereka yang ingin memulai usaha sendiri.

   Dari kedua negara ini, kita dapat belajar bahwa pendidikan berbasis keahlian bukan hanya tentang menghasilkan lulusan yang siap kerja, tetapi juga tentang membangun bangsa yang inovatif dan berdaya saing. Untuk itu, Indonesia perlu meningkatkan fokus pada pendidikan STEM dan vokasi, memperkuat kemitraan dengan industri, memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran, mendorong budaya belajar sepanjang hayat, dan mengembangkan sistem sertifikasi keahlian yang diakui secara nasional dan internasional.

   Namun, mengadopsi model pendidikan Singapura dan Malaysia tidak berarti menjiplak mentah-mentah. Kita perlu menyesuaikan dengan konteks Indonesia, mempertimbangkan keunikan budaya, sumber daya, dan kebutuhan bangsa. Lebih dari sekadar transfer pengetahuan, kita perlu membangun ekosistem pendidikan yang inovatif, kolaboratif, dan berkelanjutan.

   Pemerintah, lembaga pendidikan, industri, dan masyarakat perlu bergandengan tangan untuk menciptakan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga terampil, kreatif, dan berdaya saing tinggi. Mari kita jadikan pendidikan sebagai fondasi utama pembangunan bangsa, di mana setiap anak Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi terbaiknya. Dengan demikian, kita dapat mewujudkan Indonesia yang maju, mandiri, dan berdaulat di panggung dunia.

   Penulis: Dr. H. Rusdan, S.Pd., S.H., M.M.Pd. (Praktisi pendidikan, akademisi, dan pemerhati sosial masyarakat)

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak